April 4, 2008

Masih Korupsi? Apa Kata Dunia?




Sejarah perkorupsian di ranah Indonesia merupakan jalan panjang nan mulus, menilik dari kebiasaan-kebiasaan di sekitar kita yang kini telah menjurus pada pakem sudah sewajarnya. Saya bahkan sudah menganggap bukan hal aneh kalau mendengar ada berita baru tentang terjadinya penggelapan, penipuan dan korupsi uang negara trilyunan, seenteng saya menanggapi berita perceraian Ariel Peterpan, misalnya.

Tapi setelah saya renungkan dan lewat sedikit riset, hasilnya mau tidak mau saya merasa terpanggil untuk sekedar berbagi dengan Anda tentang betapa buruknya korupsi bagi perkembangan sebuah Negara.


Korupsi, menurut definisinya adalah sebuah konsep umum tentang penyalahgunaan kekuasaan untuk tujuan yang tidak semestinya. Atau menurut ICW (Indonesia Corruption Watch) tentang hal-ihwal korupsi :
Korupsi lahir di tengah situasi dimana oligharki politik mendominasi dalam pembuatan kebijakan publik di satu sisi dan tiadanya public accountability sebagai mekanisme pertanggungjawaban kekuasaan di sisi yang lain. Kondisi ini diperparah dengan sempitnya ruang partisipasi politik karena tidak adanya peluang dalam sistem politik yang dapat digunakan untuk meminta pertanggungjawaban wakil rakyat di parlemen. Tali mandat antara pemilih dengan wakilnya di parlemen terputus karena para wakil rakyat yang dipilih melalui mekanisme pemilu justru mengabdi pada kepentingan partai politik dan kelompok kepentingan yang menjadi cukong politiknya, daripada menyuarakan kepentingan rakyat.

Mengenai prestasi korupsi negri ini, saya sempat kaget tak tahu harus bereaksi bagaimana saat mengetahui bahwa Negara kita termasuk dalam 5 besar paling korup dari 146 negara. Dan mirisnya lagi, mantan presiden kita-Soeharto-adalah nomor wahid dalam hal penumpukan kekayaan hasil korupsi! Daftar lengkap 10 besarnya adalah sebagai berikut :
H. M. Soeharto/Indonesia (15-35 milyar dollar US)
Ferdinand E. Marcos/Filiphina (5-10 milyar dollar AS)
Mobutu Sese Seko/Kongo (2-5 milyar dollar AS)
Sani Abacha/Nigeria (2-5 milyar dollar AS)
Slobodan Milosevic/Serbia (1 milyar dollar AS)
Jean-Claude Duvalier/Haiti (300-800 juta dollar AS)
Alberto Fujimori/Peru (600 juta dollar AS)
Pavio Lazarenko/Ukraina (114-200 juta dollar AS)
Arnoldo Aleman/Nikaragua (100 juta dollar AS)
Joseph Estrada (78-80 juta dollar AS)

Dari daftar di atas ada satu benang merah yang terulur, yaitu semuanya dari negara-negara berkembang. Kenapa bisa begitu, fakta dari KPK mungkin bisa jadi alasannya :
Karena birokrasi telah menjadi lahan persendian subur bagi benih korupsi di Indonesia. Birokrasi yang semula berkultur melayani dengan tulus kini melayani dengan fulus.

Lagi-lagi birokrasi! Dan menurut hasil survey yang dilakukan KPK terhadap 65 unit layanan di 30 departemen/instansi tingkat pusat, hasilnya sungguh mengejutkan, dimana nilat rata-rata skor integritasnya 5,33. Artinya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap unit layanan dan instansi pemerintah tersebut sangat rendah. Jangan tanyakan bila dibandingkan dengan Negara lain. Coba lihat gambar di bawah ini. Gambar dari Transparancy International ini menunjukkan skala ‘indeks persepsi korupsi’ negara-negara secara internasional. Indeks persepsi korupsi adalah ukuran dari anggapan warga Negara terhadap korupsi yang dilakukan para pejabat dan politikus local.


Fakta yang disodorkan oleh Mushtaq H. Khan, salah satu anggota dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan patut kita renungkan.
Ada persepsi kuat di antara pengamat bahwa korupsi memiliki hubungan dengan hambatan pembangunan di beberapa negara. Karena itu, kita kemudian berharap skala korupsi berbeda di antara pelaku yang baik dan buruk, atau tipe korupsi berbeda di antara berbagai negara. Adalah tidak mudah mengukur skala korupsi secara tepat, tetapi adalah jelas bahwa korupsi tidak terbatas pada negara yang gagal.

Negara yang gagal, negara yang bangkrut. Bukankah kita semua sadari bahwa persaingan antarnegara di era global ini sesungguhnya adalah persaingan sistem tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih? Dimana salah satu barometernya adalah kualitas pelayanan birokrasi di sektor publik. Hanya negara yang memenangi persaingan itulah yang akan dibanjiri investor. Negara yang dijauhi investor akan bangkrut dengan sendirinya.

Menjelang pemilu raya 2009 nanti, masih adakah secercah harapan bagi Indonesia tuk menjelma menjadi negara yang efektif, efisien dan bersih?

Kalau saya cenderung ikut falsafah Jawa, ngono yo ngono tapi mbok yo ojo ngono.. Bagaimana dengan Anda?

3 comments:

Anonymous said...

gmana mw menghentikan korupsi klw pengawas nya korup; ya mahasiswanya, ya buruhnya, ya LSM anti korupsinya, ya ya ya ya
trus bilangnya; itu oknum nya.
ya ya ya ya
putusin aja ya

re!

khotib said...

gmn mau berhenti mas, klo duit pinjaman aja dikorup,.,. weleh2,.,sya pernah denger klo hmpir sebagian utng negara kita ini ikut dikorup juga.,,.

Dendy Darin said...

Begitulah, cindy dan khotib mungkin lebih tau dari saya. Korupsi itu mirip bom waktu, nggak keliatan dan tiba2 mbledug pas saatnya meletus. Yang rugi masyarakat dan negara. Dulu saya pernah liat wajah2 koruptor wanted di TV, kok sekarang jarang ya? Apa udah pada kapok atau emang belum muncul lagi?

Post a Comment